JAKARTA (Paradiso) – Industri Spa terancam gulung tikar akibat rencana kenaikan pajak hiburan 40%-75%, para pelaku usaha lakukan protes terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung, mengaku tak menyetujui perihal kenaikan pajak hiburan sebesar 40 sampai 70 persen sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Menurutnya, spa ini tidak termasuk dalam industri hiburan. Sehingga dia meminta pemerintah untuk tidak mengenakan pajak bagi pelaku usaha spa.
“Pajak sebaiknya 0 persen karena wellness tourism membantu pemerintah di bidang BPJS. Pemerintah sudah bilang nggak sanggup bayar BPJS kalau masyarakatnya sakit-sakitan. Pada jaga deh kesehatan masing-masing,” ungkap Lourda Hutagalung saat jumpa media di Penn Deli Restoran, Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Ia mengatakan, pelaku usaha spa sendiri sudah menghadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai upaya penolakan aturan tersebut. Hanya saja, dia justru mendapat balasan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Namun, hasilnya nihil.
Lourda mempertanyakan asal usul penetapan kenaikan pajak yang berkisar antara 40 sampai 70 persen itu?
Ia juga menjelaskan dampak industri ini dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, 10 besar penyakit dapat dibantu oleh industri spa, dengan melakukan relaksasi. Sayangnya, pemerintah justru menarik pajak yang besar untuk industri ini. “Penyebab utama dari sakit adalah stres, jadi kita yg membantu BPJS Kesehatan malah kena pajak 40%-75%,” ujarnya.
Selain itu, tambah Lourda, industri spa juga membantu pemerintah dalam hal mencerdaskan masyarakat Indonesia, melalui kegiatan-kegiatan sertifikasi bagi para terapis.

Para Pelaku Usaha dan Asosiasi Spa saat jumpa pers
Para pelaku usaha yang tergabung di dalam Welness and Healthcare Enterpreneur Association (WHEA), Indonesia Welness Master Association (IWMA) dan Indonesia Welness SPA Professional Association (IWSPA) menuntut pemerintah merevisi aturan tersebut demi kelangsungan usaha bidang SPA. Ada beberapa hal yang mendasari hal tersebut, antara lain adanya Tumpang Tindih Aturan. UU HKPD bertentangan dengan Undang-undang lainnya, dalam hal ini Undang-undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Kepariwisataan. Terutama dalam pengelompokan jenis usaha yang termasuk ke dalam objek Pajak Barang dan jasa Tertentu (PBJT). Sebab, dalam Pasal 50 dan Pasal 55 UU HKPD, pemerintah mengelompokkan jasa SPA ke dalam jasa kesenian dan hiburan. Padahal, di dalam Pasal 14 UU Pariwisata, usaha SPA tidak merupakan jenis usaha yang berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.
Kedua, SPA Bukan Industri Hiburan, Jasa SPA lebih tepat dikelompokkan berbeda dari kegiatan usaha hiburan atau rekreasi sebagaimana yang diatur di dalam UU Pariwisata. Apalagi, secara definisi SPA memang bukan bagian dari aktivitas hiburan melainkan perawatan Kesehatan. Selain itu, SPA juga merupakan bagian dari wellness sebagai payung besarnya. Itu sebabnya, lebih tepat disebut sebagai SPA Wellness, yang tujuannya mencakup Kesehatan promotion dan prevention. Hal ini diperkuat dengan tercakupnya SPA sebagai salah satu Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2023. Beleid ini mendefinisikan SPA sebagai terapi dengan karakteristik tertentu yang kualitasnya dapat diperoleh dengan cara pengolahan maupun alami. Menghimbau kepada pemerintah untuk segera meninjau kembali, ketentuan mengenai pengelompokan SPA sebagai bisnis hiburan. Jika dibiarkan, khawatir akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan usaha di Indonesia.
Ketiga, Spa wellness merupakan Komoditas kesehatan bukan Hiburan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 15 etnik pola pengobatan untuk kesehatan dan kebugaran dengan berbagai bukti empirisnya yang di lakukan oleh para Ahli yang tergabung dalam Assosiasi IWMA yang dikenal dengan ETNAPRANA.
Oleh karena itu dan agar ada pemikiran besar untuk bangsa ini maka dimohon agar usaha spa wellness yang mengembangkan dan berkomitmen mengimplentasikan ETNAPRANA di dalamnya dengan dibuktikan para terapisnya sudah bersertifikat sesuai dengan SKKNI Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 267 Tahun 2023 Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Aktivitas Jasa Lainnya Golongan Pokok Aktivitas Jasa Perorangan Lainnya Sub Golongan Jasa Perorangan Aktivitas Kebugaran, Bukan Olahraga Bidang Sante Par Aqua (Spa) Terapi, industrinya sudah bersertifikat usaha sesuai dengan Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Standar Usaha Spa, hendaknya mendapat insentif pajak khusus untuk bisa berkembang membangun ekonomi bangsa dan kami menyarankan dalam preriode tertentu bisa di angka 0% dan setelah berkembang pesat baru dikenakan pajak sebagaimana mestinya karena untuk menerapkan standard spa wellness yang telah ditentukan oleh pemerintah tidak mudah karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga jika ditambah beban pajak yang tinggi, tentu akan berdampak pada Kesehatan finansial pelaku usahanya. (*)